Pendekatan yang telah lama diterapkan dalam pembelajaran bahasa adalah antara lain pendekatan tujuan, pendekatan struktural, dan pendekatan keterampilan proses. Kemudian menyusul pendekatan-pendekatan yang dipandang lebih sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa, yakni pendekatan whole language, pendekatan komunikatif, pendekatan kontekstual, dan pendekatan terpadu. Pada bagian ini akan dibahas pendekatan komunikatif, pendekatan whole language, pendekatan kontekstual, dan pendekatan terpadu.
Pada umumnya kata approach diartikan pendekatan. Dalam pengajaran, kata ini lebih tepat diartikan a way of beginning something. Jadi, kalau diterjemahkan, approach adalah cara memulai sesuatu. Dalam hal ini, yaitu cara memulai pengajaran bahasa. Lebih luas lagi, approach adalah seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa dan proses belajar bahasa.
Penggunaan pendekatan dalam pengajaran bahasa menyikapi: (1) cara pandang seseorang dalam menyikapi bahasa sebagai materi pelajaran, (2) isi pembelajaran, (3) teknik dan proses pembelajaran, serta (4) perencanaan dan pelaksanaan program pengajaran. Berikut ini akan disajikan beberapa metode pembelajaran dalam bahasa Indoesia di SD.
3.1 Pendekatan Behavioristik
Pendekatan behavioristik merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan anak menggunakan bahasa diperoleh melalui proses belajar. Caranya, dengan memberi stimulus sehingga menghasilkan respon tertentu. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan drill (perlatian berulang-ulang)
3.2 Pendekatan Mentalistik
Pendekatan mentalistik merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan anak menggunakan bahasa diperoleh karena pada dasarnya setiap anak telah dibekali piranti yang membuatnya dapat memperoleh bahasa yaitu language acquisition device (LAD). Anak pada dasarnya individu yang kreatif sehingga tugas guru memfasilitasi dan memotivasi.
3.3 Pendekatan Kognitivistik
Pendekatan kognitivistik merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan anak menggunakan bahasa selaras dengan perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu, guru wajib memfasilitasinya dengan menyediakan lingkungan sosial, lingkungan bahasa, dan lingkungan emosional yang dapat mendorong siswa untuk memiliki kemampuan tersebut.
3.4 Pendekatan Interaksi Sosial
Pendekatan interaksi sosial merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa anak mempunyai potensi dasar (kognitif) tidak terlepas dari interaksi sosial dengan lingkungannya. Dengan berinteraksi, anak akan dapat meningkat kreativitas dan pikiran kritisnya sehingga dapat memecahkan masalahnya sendiri
3.5 Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar-mengajar yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Dengan berdasar pada pendekatan tujuan, yang penting ialah tercapainya tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan mengarang. Bagaimana proses pembelajarannya, bagaimana metodenya, bagaimana teknik pembelajaran tidak merupakan masalah yang penting. Misalnya, untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”. Demikian pula kalau misalnya yang diajarkan pokok bahasan struktur dengan tujuan “Siswa memiliki pemahaman mengenai bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia”. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran morfologi bahasa Indonesia.
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan “cara belajar tuntas”. Dengan “cara belajar tuntas”, berarti suatu kegiatan belajar-mengajar dianggap berhasil.
3.6 Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititikberatkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi, mofologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting. Jelas, bahwa aspek kognitif bahasa diutamakan.
3.7 Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Hal tersebut sesuai dengan arah pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis.
Konsep kompetensi komunikatif membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja. Selanjutnya, kedua bagian ini dibedakan lagi dalam dua versi, yaitu versi lemah dan versi kuat. Yang dimaksud dengan versi lemah adalah pembedaan kemampuan kompetensi dengan performansi pada diri seseorang. Dengan kata lain, kompetensi berbahasa seseorang tidak memberikan pengaruh terhadap performansi berbahasanya atau sebaliknya.
Pengetahuan kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap bahasa sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri penutur. Melalui kemampuan potensial ini penutur dapat menciptakan tuturan-tuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk berbahasa secara kreatif.
Pandangan tersebut diperluas oleh para pakar dari versi kuat. Dalam versi ini, Chomsky beserta pakar-pakar pembelajaran yang lain seperti Hymes pada tahun 1971, dan Howatt dalam Richard dan Rogers (1986) mengungkapkan bahwa penguasaan gramatika termasuk satu kompetensi berbahasa seseorang. Di samping itu, ditekankan pula bahwa performansi berbahasa seseorang didukung oleh kompetensi kebahasaannya. Pendapat ini membuka peluang masuknya unsur sosiokultural dalam telaah linguistik, karena bahasa bukan saja dipandang sebagai kemampuan penutur secara individual, melainkan dihubungkan dengan dapat diterima atau tidaknya oleh mitra bicara. Oleh karena itu, kompetensi di bidang kebahasaan adalah juga sebagai kompetensi komunikatif.
Proses performansi kebahasaan biasanya diartikan sebagai kegiatan verbal yang berkaitan dengan proses pengungkapan. Sebagai bagian dari proses pengungkapan, performansi kebahasaan mengandung ciri-ciri sosiokultural khusus yang mewarnai bahasa seseorang. Performansi kebahasaan sering dikenal sebagai pemakaian bahasa secara aktual dalam situasi konkret. Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan mengunjukkan dalam kegiatan berbahasa, baik kegiatan produktif maupun reseptif sesuai denagn situasi yang nyata, bukan situasi buatan.yang terlepas dari konteks.
Konsep kompetensi komunikatif meliputi kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, kewacanaan, dan strategi. Kompetensi gramatikal mengacu pada kemampuan seseorang terhadap kaidah-kaidah bahasa. Kompetensi sosiolinguistik mencakup kemampuan pemahaman terhadap penutur, isi pesan komunikasi, alat penyampai, tujuan, dan mitra bicara. Kompetensi kewacanaan berkaitan dengan penguasaan seseorang terhadap aspek tuturan yang berupa kalimat, paragraf, dan wacana. Kompetensi strategi mencakup kemampuan seseorang mengolah informasi menjadi sebuah wacana.
Kegiatan komunikasi yang disajikan hendaknya yang betul-betul diperlukan peserta didik. Untuk mendorong peserta didik mau belajar hendaknya guru memberikan kegiatan belajar yang bermakna. Peran guru adalah sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan pembelajar. Materi pembelajaran hendaknya dapat memungkinkan diterapkannya metode permainan, simulasi, bermain drama, dan komunikasi pasangan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menerapkan metode tersebut adalah teknik drama. Materi pembelajaran bahasa berperan menunjang komunikasi peserta didik secara aktif. Penekanan pendekatan komunikatif adalah penyajian materi dan kegiatan pembelajaran berorientasi pada peserta didik Pembelajaran lebih difokuskan pada penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Pelaksanaannya di kelas keempat aspek keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis mendapat perhatian yang serius.
3.8 Pendekatan Keterampilan Proses
Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan konsep. Konsep yang telah ditemukan atau dikembangkan berfungsi pula sebagai penunjang keterampilan proses. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan pengembangan konsep dalam proses belajar-mengajar menghasilkan sikap dan nilai dalam diri siswa. Pada siswa akan tampak tandanya yaitu teliti, kreatif, kritis, objektif, tenggang rasa, bertanggung jawab, jujur, terbuka, dapat bekerja sama , rajin, dan sebagainya.
Keterampilan proses dicipta melalui ketiga keterampilan yang telah disebutkan yaitu keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Setiap keterampilan ini terdiri atas sejumlah keterampilan. Dengan perkataan lain keterampilan proses terdiri atas sejumlah subketerampilan proses.
Guru dapat mengembangkan kemampuan dasar siswa menjadi keterampilan intelektual, sosial, dan fisik. Caranya yaitu melalui cara belajar siswa aktif atau yang dikenal dengan CBSA. Siswa tidak hanya perlu diberi ‘apa yang harus dipelajari’, tetapi yang lebih penting lagi ‘bagaimana cara mempelajarinya’. Dengan demikian, siswa dapat mengetahui ‘belajar bagaimana belajar’.
Ibrahim (1987:61-62) merinci langkah kegiatan dalam penerapan pendekatan keterampilan proses, yaitu a) pemanasan (brainstorming), b) pengamatan (observasi), c) interpretasi hasil pengamatan, d) permasalahan (memperkirakan kejadian yang belum teramati, e) aplikasi konsep, dan f) perencanaan penelitian
3.9 Pendekatan Whole Language
Pendekatan whole language merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang mulai diperkenalkan di Indonesia. Keampuhan pendekatan ini telah banyak dibuktikan oleh beberapa negara yang menggunakannya. Anda perlu memahami pendekatan ini dengan baik agar dapat menerapkannya di kelas. Untuk itu dalam subunit ini akan diuraikan tentang pendekatan whole language sehingga pada akhir subunit ini Anda akan dapat menje-laskan konsep pendekatan whole language dan kemudian menerapkan pendekatan tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD.
Secara umum whole language dapat dinyatakan sebagai perangkat wawasan yang mengarahkan kerangka pikir praktisi dalam menentukan bahasa sebagai meteri pelajaran, isi pembelajaran, dan proses pembelajaran. Pengembangan wawasan whole language diilhami konsep konstrutivisme, language experience approach (LEA), dan progresivisme dalam pendidikan. Wawasan yang dikembangkan sehubungan dengan bahasa sebagai materi pelajaran dan penentuan isi pembelajarannya diwarnai oleh fungsionalisme dan semiotika. Sementara itu, prinsip dan penggarapan proses pembelajarannya diwarnai oleh progresivisme dan konstruktivisme menyatakan bahwa siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole) dan terpadu (integrated). Siswa termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajarinya itu diperukan oleh mereka. Guru berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agar mereka dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dari desiminator informasi menjadi fasilitor.
Penentuan isi pembelajaran dalam perspektif whole language diarahkan oleh konsepsi tentang kebahasaan dan nilai fungsionalnya bagi pebelajar dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan konsepsi bahwa pengajaran bahasa mesti didasarkan pada kenyataan penggunaan bahasa, maka isi pembelajaran bahasa diorientasikan pada topik pengajaran (1) membaca, (2) menulis, (3) menyimak, dan (4) wicara. Ditinjau dari nilai fungsionalnya dalam kehidupan, penguasaan yang perlu dijadikan fokus dan perlu dikembangkan adalah penguasaan kemampuan membaca dan menulis. Sebab itulah konsep literacy (keberwacanaan) dalam persfektif whole language yang hanya dihubungkan dengan perihal membaca dan menulis. Ditinjau dari konsepsi demikian, topik pengajaran menyimak, wicara, membaca, dan menulis tidak harus digarap secara seimbang karena alokasi waktu pengajaran mesti lebih banyak digunakan untuk pembelajaran membaca dan menulis.
Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Dalam hal ini orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru. Whole language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan berbahasa yang diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasa diajarkan secara terpadu. Menerapkan whole language memang agak sulit karena tidak ada acuan yang benar-benar mengaturnya. Namun Anda dapat mencoba menerapkannya dengan mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam whole language. Ada delapan komponen whole language, yaitu reading aloud, sustained silent reading, shared reading, journal writing, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing. Namun sesuai dengan definisi whole language yaitu pembelajaran bahasa yang disajikan secara utuh dan tidak terpisah-pisah, maka dalam menerapkan setiap komponen whole language di kelas Anda harus pula melibatkan semua keterampilan dan unsur bahasa dalam kegiatan pembelajaran.
Reading Aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat bermanfaat terutama jika dilakukan di kelas rendah. Manfaat yang didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa.
Sustained Silent Reading (SSR) adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pada kegiatan ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Guru dalam hal ini sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama.
Journal writing. Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis informal. Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya tanpa sekaligus memikirkan hal-hal yang bersifat mekanik.
Shared reading. Shared reading ini adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa dan mereka harus mempunyai buku untuk dibaca bersama. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di kelas tinggi. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini yaitu: guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah), guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku; dan siswa membaca bergiliran. Maksud kegiatan ini adalah: sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model; memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya; dan siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar.
Komponen whole language yang kelima adalah guided reading. Tidak seperti pada shared reading, yaitu guru lebih berperan sebagai model dalam membaca, dalam guided reading atau disebut juga membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang meminta siswa menjawab dengan kritis, bukan se-kedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan di kelas.
Komponen whole language yang keenam adalah guided writing atau menulis terbimbing seperti dalam membaca terbimbing, dalam menulis terbimbing peran guru adalah sebagai fasilator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses writing seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan sendiri oleh siswa.
Komponen whole language yang ketujuh adalah independent reading. In-dependent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membacayang memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemprakasa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilator, dan pemberi respon. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson dkk (1988), membaca bebas yang diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada siswa.
Komponen whole language yang kedelapan adalah independent writing. Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemam-puan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dalam menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis. Jenis menulis yang termasuk dalam independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respon.
Kelas yang menerapkan whole language merupakan kelas yang kaya dengan barang cetak seperti buku, koran, majalah, dan buku petunjuk. Di samping itu, kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut. Selanjutnya, kelas whole language menerapkan penilaian yang menggunakan portofolio dan penilaian informal melalui pengamatan selama pembelajaran berlangsung.
3.10 Pendekatan Kontekstual
Nurhadi (2003:1) menyatakan pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang membantu guru yang mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep dasar tersebut diharapkan hasil pembelajaran menjadi bermakna.
Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami (berdasarkan pengalaman), bukan transfer pengetahuan guru ke siswa. Pembelajaran lebih mementingkan proses daripada hasil. Para siswa perlu memahami apa makna belajar, apa manfaat belajar, status mereka, dan bagaimana mencapainya. Jadi, tugas guru hanya memfasilitasi pembelajaran sehingga siswa dapat mengalami sendiri, bukan memberi informasi.
Untuk dapat menerapkan pendekatan kontekstual ada beberapa komponen yang dilibatkan. Komponen tersebut yaitu a) konstruktivisme, b) bertanya, c) menemukan, d) masyarakat belajar, e) pemodelan, f) refleksi, dan g) penilaian diri. Berikut ini langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menerapkan ketujuh komponen tersebut.
a. Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
b. melakukan kegiatan inkuiri untuk semua topik
c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan cara bertanya
d. Menciptakan masyarakat belajar
e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran
f. Melakukan refleksi di akhir pertemuan
g. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
3.11Pendekatan Tematik
Konsep pembelajaran tematik adalah merupakan pengembangan dari pemikiran dua orang tokoh pendidikan yakni Jacob tahun 1989 dengan konsep pembelajaran interdisipliner dan Fogarty pada tahun 1991 dengan konsep pembelajaran terpadu. Pembelajaran tematik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intramata pelajaran maupun antarmata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu peserta didik akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga pembelajaran jadi bermakna bagi peserta didik.
Bermakna disini memberikan arti bahwa pada pembelajaran tematik peserta didik akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman lansung dan nyata yang menghubungkan antarkonsep pada intramata pelajaran maupun antarmata pelajaran. Pembelajaran dengan pendekatan tematik tampak lebih menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik aktif terlibat dalam proses pembelajaran untuk pembuatan keputusan.
Pendekatan tematik sangat cocok dikembangkan pada pembelajaran sekolah dasar awal. Hal ini dikarenakan anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada tahap tersebut biasanya ditandai perilaku belajar sebagai berikut.
a. Memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak
b. Mulai berpikir secara operasional
c. Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda
d. Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan kausalitas
e. Memahami konsep substansi, volume zat cair, ukuran (panjang, lebar, luas) dan berat.
Bila melihat perkembangan berpikir anak usia sekolah dasar tampak adanya tiga ciri, yaitu: a) konkrit, b) integratif, dan c) hierarkis.
Ada empat landasan pada pembelajaran dengan pendekatan tematik. Empat landasan tersebut, yaitu a) landasan filosofis (progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme), b) landasan psikologis, dan c) landasan yuridis.
Sebagai suatu proses, pembelajaran tematik memiliki karakteristik a) pembelajaran berpusat pada peserta didik, b) menekankan pembentukan pemahaman dan kebermaknaan, c) belajar melalui pengalaman langsung, d) lebih memperhatikan proses dari hasil semata, e) sarat dengan muatan keterkaitan.
Bagi guru, dengan pembelajaran tematik ada pula keuntungan yang didapat yaitu: mengefisienkan waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan sehingga waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
3.12Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa berbahasa tidak hanya bergantung pada faktor bahasa itu sendiri, tetapi juga konteks yang mewadahi. Yang dimaksud dengan konteks yaitu faktor di luar bahasa yang mempengaruhi pemaknaan bahasa.
2. Metode Pembelajaran Bahasa
Dalam dunia pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan yang menye-luruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan pendekatan bersifat filosofis/aksioma. Karena itu, dari suatu pendekatan dapat tumbuh beberapa metode. Misalnya dari aural-oral approach (mendengar berbicara) dapat tumbuh metode mimikri-memorisasi, metode pattern-practice (pola-pola praktis), dan metode lainnya yang mengutamakan kemampuan berbahasa, khususnya kemampuan berbicara (bahasa lisan) melalui latihan intensif (drill). Cognitive cove learning theory melahirkan metode grammatika-terjemahan yang mengutamakan penguasaan kaidah tata bahasa dan pengetahuan tentang bahasa
Pada hakikatnya, metode terdiri atas empat langkah, yaitu seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi. Unsur seleksi dan gradasi materi pelajaran merupakan unsur yang tak terpisahkan dengan unsur presentasi dan repitisi dalam membentuk suatu metode mengajar (Mackey dalam Subana, 20). Metode pembelajaran bahasa di kelas rendah akan diuraikan sebagai berikut.
4.1 Metode Eja
Pembelajaran MMP dengan metode eja memulai pengajarannya dengan mem-perkenalkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan murid sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A a, B b, C c, D d, E e, F f dan seterusnya, dilafalkan sebagai a, be, ce, de, e, ef, dan seterusnya. Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambang tulisan, seperti a, b, c, d, dan seterusnya atau dengan huruf rangkai, a, b, c, d, dan seterusnya.
Setelah melalui tahapan ini, para murid diajarkan untuk berkenalan dengan suku kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.
Misalnya : b, a > ba (dibaca be. a > ba)
d, u > du (dibaca de. u > du)
ba-du dilafalkan badu
b, u, k,u menjadi b,u > bu (dibaca be, u > bu)
k,u > ku (dibaca ka,u > ku)
Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah murid-murid dapat menulis huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkai huruf yang berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata “badu” tadi. Selanjutnya, murid diminta menulis seperti ini: ba – du > badu.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana. Contoh-contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pendekatan pengalaman berbahasa. Artinya, pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan murid menuju hal-hal yang sulit dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi murid.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun murid mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun murid tetap mengalami kesulitan dalam mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau kata. Anak yang baru mulai belajar membaca, mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami sistem pelafalan bunyi b dan a dilafalkan /a/. Mengapa kelompok huruf ba dilafalkan /ba/, bukan /bea/, seperti tampak pada pelafalan awalnya? Hal ini, tentu akan membingungkan murid. Penanaman konsep hafalan abjad dengan menirukan bunyi pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya, menyebab-kan murid mengalami kebingungan manakala menghadapi bentukan-bentukan baru, seperti bentuk kata dan bentuk kata tadi.
4.2 Metode Suku Kata dan Metode Kata
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata, seperti ba, bi, bu, be, bo, ca, ci, cu, ce, co, da, di, du, de, do, ka, ki, ku, ke, ko dan seterusnya. Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata bermakna. Sebagai contoh, dari daftar suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku kata menjadi kata-kata bermakna, untuk bahan ajar MMP. Kata-kata tadi misalnya:
ba - bi cu - ci da - da ka - ki
ba - bu ca - ci du – da ku - ku
bi - bi ci - ca da – du ka - ku
ba - ca ka – ca du – ka ku – da
Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat sederhana. Contoh perangkaian kata menjadi kalimat dimaksud, seperti tampak pada pada contoh di bawah ini.
ka - ki ku - da
ba - ca bu - ku
cu - ci ka - ki (dan seterusnya)
Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat sederhana, kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut menjadi satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata dan kata ke dalam suku-suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan kegiatan merangkai dan mengupas, kemudian dilahirkan istilah lain untuk metode ini, yakni Metode Rangkai Kupas.
Jika kita simpulkan, langkah-langkah pembelajaran MMP dengan metode suku adalah:
a. tahap pertama, pengenalan suku-suku kata;
b. tahap kedua, perangkaian suku-suku kata menjadi kata;
c. tahap ketiga, perangkaian kata menjadi kalimat sederhana
d. tahap keempat, pengitegrasian kegiatan perangkaian dan pengupasan
(kalimat kata-kata suku-suku kata)
Metode suku kata/silaba, saat ini tampaknya sedang populer dalam pembelajaran baca tulis Al-Quran. Dalam pembelajaran baca tulis Al-Quran, metode ini dikenal dengan istilah “Metode Iqro”.
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini melibatkan serangkaian proses “pengupasan” dan “perangkaian”. Oleh sebab itu, metode ini dikenal juga sebagai “Metode Kupas Rangkai”. Sebagian orang menyebutnya “Metode Kata” atau “Metode Kata lembaga”.
4.3 Metode Global
Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai “Metode Kalimat”. Global artinya secara utuh dan bulat. Dalam metode global yang disajikan pertama kali kepada murid adalah kalimat seutuhnya. Kalimat tersebut dituliskan di bawah gambar yang sesuai dengan isi kalimatnya. Gambar itu ditujukan untuk mengingat-kan murid kepada kalimat yang ada di bawahnya. Setelah berkali-kali membaca, murid dapat membaca kalimat-kalimat itu secara global tanpa gambar.
Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan ajar untuk MMP yang menggunakan metode global: memperkenalkan gambar dan kalimat, menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata;suku, dan kata menjadi huruf-huruf.
ini mama
i n i m a m a
i-ni ma – ma
i-n-i m-a – m-a
4.4 Metode SAS
Metode SAS merupakan singkatan dari “Struktural Analitik Sintetik”. Metode SAS merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran MMP bagi siswa pemula. Pembelajaran MMP dengan metode ini mengawali pembelajarannya dengan dua tahap, yakni menampilkan dan memper-kenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi makna lengkap, yakni struktur kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk mem-banguan konsep-konsep “kebermaknaan” pada diri anak. Akan lebih baik jika struktur kalimat yang disajikan sebagai bahan pembelajaran MMP dengan metode ini adalah struktur kalimat yang digali dari pengalaman berbahasa si pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar-mengajar (KBM) MMP yang sesungguhnya dimulai, guru dapat melakukan pra-KBM melalui berbagai cara. Sebagai contoh, guru dapat memanfaatkan gambar, benda nyata, tanya jawab in-formal untuk menggali bahasa siswa. Setelah ditemukan suatu struktur kalimat yang dianggap cocok untuk materi MMP dimulai dengan pengenalan struktur kalimat.
Kemudian, melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep kata. Kalimat utuh dijadikan tonggak dasar untuk pembelajaran membaca permulaan ini diuraikan ke dalam satuan-satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata. Proses penganalisisan atau penguraian ini terus berlanjut hingga sampai pada wujud satuan bahasa terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni huruf-huruf. Dengan demikian, proses penguraian/pengalisisan dalam pembelajaran MMP dengan metode SAS, meliputi: kalimat menjadi kata-kata; kata menjadi suku-suku kata; dan suku kata menjadi huruf-huruf.
Ada beberapa prinsip-prinsip dalam pembelajaran menggunakan metode SAS. Prinsip tersebut adalah : (1) kalimat adalah unsur bahasa terkecil sehingga pengajaran dengan menggunakan metode ini harus dimulai dengan menampilkan kalimat secara utuh dan lengkap berupa pola-pola kalimat dasar; (2) struktur kalimat yang ditampilkan harus menimbulkan konsep yang jelas dalam pikiran/pemikiran murid. Hal ini dapat dilakukan dengan menampilkannya secara berulang-ulang sehingga merangsang murid untuk mengetahui bagian-bagiannya; (3) adakan analisis terhadap struktur kalimat tersebut untuk unsur-unsur struktur kalimat yang ditampilakan; (4) unsur-unsur yang ditemukan tersebut kemudian dikembalikan pada bentuk semula (sintesis). Pada taraf ini, murid harus mampu menemukan fungsi setiap unsur serta hubungannya satu dan lain sehingga kembali terbentuk unsur semula; (5) struktur yang dipelajari hendaknya merupakan pengalaman bahasa murid sehingga mereka mudah memahami serta mampu menggunakannya dalam berbagai situasi.
Teknik pelaksanaan metode SAS ialah keterampilan memilih kartu huruf, kartu kata, kartu suku kata, dan kartu kalimat. Sementara sebagaian murid mencari huruf, suku kata, kata, guru dan sebagian murid lainnya menempelkan kata-kata yang tersusun sehingga menjadi kalimat yang berarti. Demikian seterusnya sehingga seluruh murid memperoleh giliran untuk menyusun kalimat, membacanya, dan mengutipnya sebagai pelajaran keterampilan menulis.
Contoh penerapan Metode SAS
1. Membuat struktur kalimat (S)
ini bola
2. Proses Analisis (A)
Ini bola
Ini bola
I ni bo la
I n I b o l a
3. Proses Sintesis (S)
I n I b o l a
I ni bo la
Ini bola
Ini bola
Secara utuh, proses SAS tersebut sebagai berikut:
ini bola
ini bola
i ni bo la
i n i b o l a
i ni bo la
ini bola
ini bola
Untuk mencapai standar kompetensi minimal sebagaimana yang telah ditentukan dalam kurikulum, diperlukan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran sehingga pembelajaran kemampuan berbahasa dan bersastra dapat dilaksanakan secara baik dan tepat sesuai dengan prinsip pembelajaran yang inovatif, misalnya pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran koperatif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran terpadu, dan PAIKEM (pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Dan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran keterampilan berbahasa disarankan dilakukan secara terpadu, baik intra maupun antarbidang studi.
Rangkuman |
Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses bagaimana anak menguasai bahasanya. Istilah pemerolehan dibedakan dengan pembelajaran. Pemerolehan berkaitan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran berkaitan dengan bahasa kedua. Teori pemerolehan bahasa meliputi teori nativisme, behaviorisme, dan kognitivisme. Perkembangan bahasa anak dapat dipilah sebagai berikut. (1) tahap meraban pertama 0-6 bulan dan (2) tahap meraban kedua 6-12 bulan, sedangkan tahap linguistik dibagi atas (1) tahap holofrastik, (2) tahap ujaran dua kata, (3) tahap telegrafik, dan (4) tahap tata bahasa menjelang dewasa. Apabila dikaitkan dengan perkembangan berpikir anak, perkembangan bahasa tersebut dibedakan atas (1) tahap eksternal, tahap egosentris, dan tahap internal.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secar sadar untuk berkomunikasi dengan masyarakat tutur bahasa tersebut. Salah satu fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari penutur/pengirim pesan kepada pendengar/penerima pesan melalui saluran atau media tertentu. Dalam suatu komunikasi terdapat tiga komponen yaitu partisipan yang mencakup penutur/penyampai pesan, pendengar/penerima pesan; pesan yang disampaikan; dan saluran atau media. Dalam konteks ini, bahasa mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi ekspresif, direktif, referensial, putik, fatik, dan metalinguistik.
Ruang lingkup materi pembelajaran bahasa Indonesia meliputi aspek kebahasaan, kemampuan berbahasa, dan kesastraan. Aspek kebahasaan mencakup unsur bunyi, kata dan bentukan kata, kalimat, dan makna. Dalam KTSP aspek kebahasaan yang meliputi bunyi atau huruf, lafal, intonasi, kata (bentuk dan kosa kata), kalimat, dan makna. Aspek kesastraan (apresiasi sastra) meliputi genre puisi anak, fiksi anak, dan drama anak. Dalam KTSP aspek kesastraan, baik sebagai media maupun bahan pembelajaran, meliputi bentuk pantun, puisi anak, dongeng, cerita rakyat, cerita anak, cerita pendek anak, drama anak, dan drama pendek anak. Aspek kebahasaan dan apresiasi sastra tidak secara eksplisit dituangkan dalam KTSP, melainkan disinergikan atau dintegrasikan dalam aspek kemampuan berbahasa.
Aspek kemampuan berbahasa meliputi menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut berhubungan erat. Menyimak dan berbicara merupakan keterampilan berbahasa ragam lisan, sedangkan membaca dan menulis merupakan ragam tulis. Menyimak dan membaca merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif. Berbicara dan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. keterampilan menyimak, meliputi wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan, pengumuman, berita, deskripsi berbagai peristiwa dan benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk puisi, pantun, dongeng, cerita, cerita rakyat, dan drama; (3) keterampilan berbicara meliputi wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. (4) keterampilan menulis, meliputi kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Sedangkan Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham konstruktivis. Dalam whole language bahasa diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, wicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan. Dalam menerapkan whole language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. Komponen whole language adalah reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing.
Sajian pertama pada awal-awal anak memasuki lingkungan sekolah adalah program MMP (Membaca Menulis Permulaan) yang terdiri atas metode eja, metode suku kata, metode kata, metode global, dan metode SAS. Pembelajaran MMP dengan metode eja dimulai dengan pengenalan unsur bahasa terkecil yang tidak bermakna, yakni huruf. Berbekal pengetahuan tentang huruf-huruf tersebut, kemudian pembelajaran MMP bergerak menuju satuan-satuan bahasa di atasnya, yakni suku kata, kata dan akhirnya kalimat. Perbedaan dari kedua metode ini terletak pada cara pelafalan abjadnya. Metode suku kata dan metode kata memulai pembelajatan MMP dari suku-suku kata (metode suku kata) dan dari kata (metode kata). Proses pembelajaran melalui kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik mengupas dan teknik merangkai. Metode global dan metode SAS memiliki kesamaan dalam hal pengambilan titik tolak pembelajaran MMP. Proses pembelajaran dimaksud diawali dengan memperkenalkan struktur kalimat sebagai dasar bagi pembelajaran MMP. Perbedaannya proses pembelajaran MMP dengan metode global tidak disertai dengan proses sintesis, sedangkan SAS menuntut proses analisis dan proses sintesis.
Untuk mencapai standar kompetensi minimal, diperlukan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran sehingga pembelajaran kemampuan berbahasa dan bersastra dapat dilaksanakan secara baik dan tepat sesuai dengan prinsip pembelajaran yang inovatif, misalnya pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, pembelajaran kontekstual, dan PAiKEM. Dan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran keterampilan berbahasa disarankan dilakukan secara terpadu, baik intra maupun antarbidang studi.
RANCANGAN PEMBELAJARAN MMP
Rancangan berarti perencanaan kegiatan belajar mengajar yang berupa persiapan mengajar. Wujud persiapan mengajar ada yang tertulis dan tidak tertulis. Wujud tertulis dalam bentuk persiapan perangkat pembelajaran, seperti: kalender pendidikan, Program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Wujud yang tidak tertulis dalam bentuk penguasaan materi, kesiapan mental guru, dan organisasi belajar.
Dalam KTSP dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yaitu agar para siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai situasi dan kondisi. Untuk mewujudkannnya melalui empat keterampilan yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Membaca dan menulis sebagai dua keterampilan yang dikembangkan, materinya harus disesuaikan dengan materi yang ada di dalam kurikulum (KTSP). Guru harus mempertimbangkan materi dengan tema sehingga pengembangan materi lebih terfokus. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya tema, penyajian pembelajaran lebih terarah. Dengan kata lain, tema merupakan ‘payung’ untuk memasuki materi.
Beberapa alternatif tema yang dikembangkan dalam pembelajaran di SD yaitu: diri sendiri, keluarga, pengalaman, budi pekerti, kegemaran, lingkungan, dan masih banyak lagi. Tema-tema tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan materi sesuai dengan kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran.
Kelas I, Semester 1
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca 1. Memahami teks pendek dengan membaca nyaring | 3.1 Membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat 3.2 Membaca nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat |
Menulis 2. Menulis permulaan dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, dan menyalin | 4.1 Menjiplak berbagai bentuk gambar, lingkaran, dan bentuk huruf 4.2 Menebalkan berbagai bentuk gambar, lingkaran, dan bentuk huruf 4.3 Mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana dari buku atau papan tulis dengan benar 4.4 Melengkapi kalimat yang belum selesai berdasarkan gambar 2.5 Menyalin puisi anak sederhana dengan huruf lepas |
Kelas I, Semester 2
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca7. Memahami teks pendek dengan membaca lancar dan membaca puisi anak | 7.1 Membaca lancar beberapa kalimat sederhana yang terdiri atas 3-5 kata dengan intonasi yang tepat 7.2 Membaca puisi anak yang terdiri atas 2-4 baris dengan lafal dan intonasi yang tepat |
Menulis 8. Menulis permulaan dengan huruf tegak bersambung melalui kegiatan dikte dan menyalin | 8.1 Menulis kalimat sederhana yang didiktekan guru dengan huruf tegak bersambung 8.2 Menyalin puisi anak dengan huruf tegak bersambung |
Kelas II, Semester 1
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca 1. Memahami teks pendek dengan membaca lancar dan membaca puisi anak | 3.1 Menyimpulkan isi teks pendek (10-15 kalimat) yang dibaca dengan membaca lancar 3.2 Menjelaskan isi puisi anak yang dibaca |
Menulis 2. Menulis permulaan melalui kegiatan melengkapi cerita dan dikte | 4.1 Melengkapi cerita sederhana dengan kata yang tepat 4.2 Menulis kalimat sederhana yang didiktekan guru dengan menggunakan huruf tegak bersambung dan memperhatikan penggunaan huruf kapital dan tanda titik |
Kelas II, Semester 2
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca 3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca nyaring dan membaca dalam hati | 7.1 Membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan lafal dan intonasi yang tepat 7.2 Menyebutkan isi teks agak panjang (20-25 kalimat) yang dibaca dalam hati |
Menulis 4. Menulis permulaan dengan mendeskripsikan benda di sekitar dan menyalin puisi anak | 8.1 Mendeskripsikan tumbuhan atau binatang di sekitar secara sederhana dengan bahasa tulis 8.2 Menyalin puisi anak dengan huruf tegak bersambung yang rapi |
Kelas III, Semester 1
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca 1. Memahami teks dengan membaca nyaring, membaca intensif, dan membaca dongeng | 3.1 Membaca nyaring teks (20-25 kalimat) dengan lafal dan intonasi yang tepat 3.2 Menjelaskan isi teks (100- 150 kata) melalui membaca intensif 3.3 Menceritakan isi dongeng yang dibaca |
Menulis 2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk paragraf dan puisi | 4.1 Menyusun paragraf berdasarkan bahan yang tersedia dengan memperhatikan penggunaan ejaan 4.2 Melengkapi puisi anak berdasarkan gambar |
Kelas III, Semester 2
Standar Kompetensi | Kompetensi Dasar |
Membaca 3. Memahami teks dengan membaca intensif (150-200 kata) dan membaca puisi | 7.1 Menjawab dan atau mengajukan pertanyaan tentang isi teks agak panjang (150-200 kata) yang dibaca secara intensif 7.2 Membaca puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat |
Menulis 4. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam karangan sederhana dan puisi | 8.1 Menulis karangan sederhana berdasarkan gambar seri menggunakan pilihan kata dan kalimat yang tepat dengan memperhatikan penggunaan ejaan, huruf kapital, dan tanda titik 8.2 Menulis puisi berdasarkan gambar dengan pilihan kata yang menarik |
Seorang guru hendaknya menyiapkan materi sesuai dengan tuntutan kurikulum, termasuk pembelajaran MMP. Pembelajaran MMP yang merupakan pemberian pengalaman pertama bagi siswa dalam memasuki dunia sekolah berorientasi pada kemampuan melek huruf. Artinya, pembelajaran membaca dan menulis pada tingkat dasar. Keterampilan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar kuat bagi siswa untuk mencapai keterampilan lainnya di lingkungan akademik (persekolahan) maupun lingkungan kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, metode yang dipilih untuk mengembangkan MMP diserahkan kepada guru agar dapat memilih metode yang dianggap tepat.
Untuk penilaian MMP terbagi menjadi dua yaitu penilaian untuk membaca permulaan dan penilaian untuk menulis permulaan. Untuk membaca permulaan, meliputi: (1) membaca kata atau kalimat dengan tepat, (2) mengenal dan memahami fungsi tanda baca, (3) kemampuan menemukan ide pokok bacaan sederhana, dan (4) kemampuan mengartikan maksud kata/kalimat yang dibacanya.
Untuk menulis permulaan dibedakan pada (1) hasil berlatih menulis dan (2) hasil tes menulis. Untuk perlatihan menulis dapat dilakukan dengan cara: (a) berlatih menyalin akan dinilai kelengkapannya, keterbacaannya, kerapihannya, kesesuaian bentuk dan ukuran tulisan, (b) Dekte/imla akan dinilai ketepatan daya dengarnya, kebenaran, kejelasan, dan kerapihan tulisan, (c) melengkapi atau mencocokkan gambar dengan tulisan akan dinilai dari kemampuan anak untuk mengaplikasikan pengetahuannya sesuai dengan konteks, dan (d) mengarang sederhana akan dinilai untuk kebenaran, keterbacaan, kerapihan, keserasian bentuk dan ukuran tulisan dengan memperhatikan keaslian gagasan, kemenarikan, dan gaya tulisan. Untuk penilaian dari hasil tes menulis diperoleh dari nilai hasil menulis didapat dari nilai tugas, nilai ulangan harian, dan nilai ulangan semester.
Pelaksanaan Pembelajaran MMP
A. Langkah-langkah Pembelajaran Membaca Permulaan
Langkah-langkah pembelajaran membaca permulaan dibedakan menjadi dua tahapan yaitu (1) belajar membaca tanpa buku dan (2) belajar membaca dengan menggunakan buku. Untuk belajar menbaca tanpa menggunakan buku dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
(a) Menunjukkkan gambar
(b) Menceritakan gambar
(c) Siswa bercerita dengan bahasanya sendiri
(d) Mengenalkan bentuk-bentuk tulisan melalui bantuan gambar
(e) Membaca tulisan bergambar
(f) Membuka tulisan tanpa gambar
(g) Mengenalkan huruf, suku kata, kata, dan kalimat dengan bantuan kartu.
Untuk belajar membaca dengan menggunakan buku dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
(a) Membaca buku pelajaran (buku teks)
(b) Membaca buku dan majalah anak pilihan
(c) Membaca bacaan susunan bersama guru siswa
(d) Membaca bacaan susunan siswa secara berkelompok atau susunan siswa secara perorangan
B. Langkah-langkah Pembelajaran Menulis Permulaan
Langkah-langkah pembelajaran menulis permulaan dibedakan menjadi dua yaitu (1) pengenalan huruf dan (2) perlatihan. Untuk belajar menulis dengan pengenalan huruf dilakukan bersama dengan pengenalan pelafalan. Fungsinya untuk melatih penginderaan siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan. Pembelajaran dilakukan dengan menunjukkan gambar yang dinamai. Selain itu, guru dapat menggunakan metode dan media pembelajaran yang dianggap tepat.
Untuk perlatihan dapat dilaksanakan dengan mengutip dari prinsip belajar bahwa yang mudah akan mendahului yang sulit; dari yang sederhana akan mendahului yang kompleks. Beberapa perlatihan yang dapat dilaksanakan, yaitu (a) berlatih memegang pensil dan duduk dengan sikap dan posisi yang benar, (b) berlatih pergerakan tangan, (c) berlatih mengeblat, (d) berlatih menghubungkan tanda titik, (e) berlatih menatap dan mencermati tulisan, (f) berlatih menyalin, (g) berlatih menulis indah, (h) berlatih dekte/imla, (i) berlatih melengkapi tulisan yang rumpang, (j) menuliskan nama yang terdapat dalam gambar, dan (k) mengarang sederhana dengan bantuan gambar.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk.. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta : Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 1995. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra: Berwawasan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Hairuddin, dkk. 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Hariadi, dan Zamzani. 1996. Peningkatan Keterampilan berbahasa Indonesia. Yogyakarta: Depdikbud.
Luxemburg dkk., 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Penerjemah Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Majid, Abdul Aziz Abdul. 2005. Mendidik dengan Cerita. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyati, Yeti, dkk. 2004. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Mulyati, Yeti, dkk. 2007. Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Santoso, Puji, dkk. 2007. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tarigan, Djago. 2004. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Universitas Terbuka.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Walujo, Herman J. 2001. Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarya: Hanindita Graha Widia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Penerjemah Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Zulfahnur ZF dkk. 2007. Teori Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar