Ada banyak ragam metode menafsir teks. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Salah satunya adalah Analisis Isi, atau yang lazim dikenal sebagai Content Analysis (ditulis dengan huruf C besar (Content) dan A besar (Analysis), karena merupakan sebuah nama metode. Sebagai sebuah metode, Content Analysis memiliki akar intelektual yang sangat panjang. Bahkan disebut sebagai metode tafsir yang paling tua. Tetapi istilah ‘Content Analysis’ baru masuk dalam kamus Webster’s Dictionary of the English Language baru pada awal 1960’an. Sejatinya, secara praktik metode ini sudah lama dipakai para ahli di banyak bidang, mulai filsafat, agama, politik, dan retorika hingga bahasa, seni, sosiologi, antropologi, komunikasi, dan psikologi.
Tidak seperti metode-metode penelitian yang lain yang umumnya bersandar di bawah payung perspektif atau paradigma tertentu, seperti
grounded theory dan fenomenologi, Content Analysis lepas dari kerangka atau perspektif tertentu karena tidak berangkat dari renungan filosofis, melainkan dari sebuah kejadian atau peristiwa. Tetapi praktiknya merupakan metode kuantitatif. Metode ini berawal dari kesadaran manusia akan kegunaan simbol, termasuk angka, dan bahasa. Menurut para penggagasnya, membuat pernyataan secara kuantitatif --- mengulangi kata beberapa kali --- dianggap lebih bisa meyakinkan pembaca atau pendengar daripada pernyataan secara kualitatif yang memerlukan reasoning panjang dan berbelok-belok.
Sangat disadari bahwa simbol dan bahasa memainkan peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika disadari, keseharian dan sepanjang hidupnya manusia bergelut dalam simbol dan bahasa, mulai hal-hal yang sangat sederhana seperti makan, minum, dan tidur hingga berpikir yang mendalam dalam renungan filsafat. Semuanya sejatinya merupakan aktivitas manusia dalam dunia simbol dan bahasa. Pendek kata, semua spektrum ilmu-ilmu sosial (seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, psikologi) dan ilmu-ilmu humaniora (seperti bahasa, seni, sastra, agama dan filsafat) berkaitan dengan simbol, makna, pesan, fungsi, dan kekuatan yang dibawa oleh simbol tersebut.
Content Analysis merupakan salah satu metode analisis teks yang cukup handal. Metode ini memandang data bukan sebagai kumpulan peristiwa, sebagaimana lazimnya dianut oleh metode penelitian yang berparadigma interpretif, seperti Discourse Analysis, yang melihat gejala atau peristiwa sebagai satu kesatuan yang majemuk dan kompleks. Content Analysis memandang data sebagai gejala simbolik. Ia lebih akrab dengan makna, referensi, konsekuensi, dan keinginan-keinginan yang tidak mungkin dicapai dengan metode kualitatif.
Kendati diklaim tidak berada di bawah payung perspektif atau paradigma tertentu, ada sebagian ahli yang menempatkannya dalam payung paradigma positivisme dengan tiga alasaan:
1. Dikaitkan dengan data, Content Analysis bertumpu pada data empirik berupa tulisan atau simbol, Content Analysis tidak menjangkau hal-hal yang tidak tertulis dan tidak konkret.
2. Dari aspek tujuan, Content Analysis bertujuan menjelaskan (to explain) variabel dari gejala yang nyata (observable) bukan memahami (to understand) fenomena sebagaimana tujuan paradigma interpretif, dan
3. Bersifat prediktif, yakni peramalan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang berangkat dari gejala yang dikaji untuk diperoleh generalisasi sebagai sebuah prediksi.
Menurut Krippendorff (1980, 1-2), akar sejarah Content Analysis dimulai dari studi-studi teologi di gereja pada akhir 1600-an. Metode ini pertama kali dipakai untuk mengkaji bahan cetak yang didokumentasikan dengan baik di Swedia pada abad ke 18. Sebagaimana dinyatakan Dovring, yang dikutip Krippendorff, pada saat itu di mana gereja masih sangat dominan dalam berbagai kehidupan, termasuk ekonomi dan politik ada sebuah buku berjudul “Song of Zion) yang memuat 90 hymne. Karya yang tanpa pengarang itu dianggap sangat membahayakan dominasi dan kependetaan gereja ortodoks Swedia. Dalam waktu singkat buku tersebut tersebar luas di masyarakat dan gereja semakin khawatir terhadap pengaruh buku tersebut. Menariknya, untuk menjawab pertanyaan apakah benar buku itu akan membahayakan kelangsungan gereja dilibatkan banyak sarjana. Mereka mencoba menghitung kata apa saja yang masuk kategori membahayakan dan berapa jumlahnya.
Kata yang diidentifikasi sebagai ‘membahayakan’ bagi gereja kemudian dibandingkan dengan kata-kata dalam nyanyian resmi gereja. Ternyata maknanya sama. Hasil perhitungan juga dibandingkan lagi dengan hasil studi orang Jerman yang bernama Moravian Brethen yang telah dinyatakan melanggar hukum. Peristiwa ini mengundang perhatian para sarjana untuk melakukan debat metodologis tentang peran simbol dalam kehidupan. Sejak saat itu, memahami isi karya tulis melalui penghitungan kata dipakai di banyak bidang keilmuan.
Selanjutnya, sebagai metode ilmiah, Content Analysis memiliki kerangka kerja sebagai pedoman penggunaannya sebagaimana diajukan Jenis (dalam Krippendorff, 1980: 35-36) sebagai berikut:
1. Analisis Isi Pragmatik (Pragmatic Content Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin timbul. (Misalnya, penghitungan berapa kali suatu kata ditulis atau diucapkan, yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka atau tidak suka terhadap sebuah rezim pemerintahan).
2. Analisis Isi Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya. (Misalnya, menghitung berapa kali kata demokrasi dijadikan sebagai rujukan sebagai salah satu pilihan sistem politik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia). Atau, misalnya yang lain, berapa kali kata Indonesia disebut oleh Obama sebagai rujukan contoh negara dengan keragaman suku, budaya dan agama, yang mampu mempersatukan semuanya dalam bingkai negara kesatuan. Secara rinci, Jenis mengembangkan Analisis Isi Semantik menjadi tiga macam kategori sebagai berikut:
1) Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, konsep) dirujuk. Analisis model ini juga biasa disebut sebagai Analisis Isi Pokok Bahasan (Subject-Matter Content Analysis).
2) Analisis Pensifatan (Attribution Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering karakterisassi objek tertentu dirujuk atau disebut. (Misalnya, karakterisasi tentang bahaya penggunaan obat terlarang bagi kehidupan)
3) Analisis Pernyataan (Assertion Analysis), yakni analisis teks dengan menghitung seberapa sering objek tertentu dilabel atau diberi karakter secara khusus. (Misalnya, berapa sering Iran disebut oleh Amerika sebagai negara yang menantang himbauan masyarakat internasional dalam hal pembangunan proyek nuklir).
3. Analisis Sarana Tanda (Sign-Vehicle Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan cara menghitung frekuensi berapa kali, misalnya, kata negara Indonesia muncul dalam sambutan Obama tatkala berkunjung ke Indonesia.
Sebagai catatan penutup, perlu disampaikan di sini bahwa metode studi teks berkembang cukup pesat. Para ahli seakan berpacu melahirkan pendekatan-pendekatan baru. Ketika metode Discourse Analysis masih sedang gencar-gencarnya digandrungi oleh para peminat kajian teks, muncul metode baru, yakni Critical Discourse Analysis sebagai varian lain. Begitu juga ketika metode hermeneutika mewarnai dunia tafsir teks bidang-bidang ilmu keagamaan dan humaniora, muncul pula madzab baru hermeneutika yang menggoncang alam pikir dunia tafsir, yakni hermeneutika Gadamerian (sebagaimana disertasi penulis). Disebut menggoncang, sebab selama ini hermeneutika hanya mengenal madzab intensionalisme di mana makna teks hanya bisa diperoleh dari penulisnya. Hanya penulis yang tahu persis makna dan maksud yang ditulis. Seorang filsuf hermeneutika kenamaan bernama Gadamer memberikan cara pandang berbeda yang sangat tajam. Menurutnya, makna teks berada di tangan pembacanya. Sebagai contoh, jika kita mengedarkan sepuluh lembar tulisan kepada sepuluh orang dan masing-masing diminta menyampaikan maknanya hampir pasti akan diperoleh sepuluh jenis makna dan pemahaman yang berbeda-beda. Cara pandang demikian disebut hermeneutika Gadamerian.
Tampaknya, seperti halnya Discourse Analysis dan hermeneutika yang mengalami revolusi pemikiran, Content Analysis juga tak mau ketinggalan. Dipandang Content Analysis memiliki kelemahan, karena hanya bertumpu pada data empirik dan tidak mampu menggali isi dan makna teks secara komprehensif, para ahli menggagas kelahiran Qualitative Content Analysis sebagai model pendekatan baru yang memadukan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam analisis teks. Saya menyebutnya sebagai ‘mixed method of text analysis’. Tak pelak, dengan metode baru ini dunia tafsir teks pun akan semakin ramai dan menantang para ahli, khususnya peminat studi teks.
_______________
Daftar Pustaka
Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design:
Choosing Among Five Approaches. London: SAGE Publications
Julien, Heidi. 2008. “Content Analysis”, (Lisa M. Given, ed.), The
Encyclopedia of QUALITATIVE RESEARCH METHODS. London: SAGE. Volume 1 & 2.
Krippendorff, Klaus. 1980. Analisis Isi: Pengantar Teori dan
Metodologi (alih bhs. Farid Wajidi). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rahardjo, Mudjia. 2005. Bahasa dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik
Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian. Disertasi Program Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar