Kendati metode penelitian kualitatif sudah dipakai sejak tahun 1960’an di berbagai bidang seperti pendidikan, politik, psikologi, sejarah, antropologi, ekonomi, komunikasi, studi media dan ilmu-ilmu humaniora (bahasa, sastra, seni, filsafat dan agama) dan terbukti handal untuk menjawab masalah yang tidak bisa dijangkau oleh metode penelitian kuantitatif, pertanyaan sebagaimana judul di atas tetap saja muncul hingga saat ini. Sebagai peminat metodologi penelitian, pada saat ujian disertasi untuk menyelesaikan studi doktor saya pun pernah ditanya ‘mengapa anda hanya meneliti empat orang sebagai subjek penelitian dan apakah hasilnya bisa digeneralisasikan, dan apakah model penelitian semacam itu ilmiah?’.
Pertanyaan semacam itu sudah saya duga sebelumnya, sehingga dengan gampang saya menjawabnya. Saya memulai dengan memberikan argumen tentang nalar dasar metode penelitian kualitatif di bawah payung paradigma interpretif (maaf, bukan interpretatif – sebagaimana yang sering saya baca dan dengar dari para mahasiswa dan dosen). Interpretif dan interpretatif merupakan dua istilah yang maknanya jauh berbeda. Interpretif merupakan istilah dalam filsafat ilmu untuk menggambarkan cara pandang yang kontras dengan positivistik, sedangkan interpretatif, menurut Given (2008: 458), merupakan proses memberi makna temuan penelitian menjadi bahasa yang mudah dipahami masyarakat umum.
Sepertinya tidak puas dengan jawaban yang saya sampaikan, penguji melanjutkan dengan pertanyaan ‘bukankah analisis data anda sebenarnya hanya hasil pikiran anda yang subjektif, sehingga sulit disebut ilmiah?’. Lagi-lagi saya menjawabnya juga dengan berpedoman pada nalar dasar penelitian kualitatif, bahwa peneliti memang instrumen utama penelitian. Sebagai instrumen utama, dia yang mencari tema, menyusun desain, membaca teori yang relevan, merumuskan fokus dan tujuan, mengumpulkan data, menganalisis data hingga membuat kesimpulan. Bahkan dia sendiri pula yang menentukan bahwa datanya sudah cukup dan penelitiannya sudah selesai atau belum. Tetapi perlu disadari bahwa melakukan semua tahapan dan proses penelitian secara sendiri tidak berarti melakukan sesuatu dengan semau dan sendirinya. Ada rambu-rambu dan pedoman yang harus dijadikan pegangan sebagaimana kegiatan ilmiah yang lain.
Rambu dan pedoman itu sudah dikembangkan oleh para penggagas metode penelitian kualitatif sejak awal metode tersebut dipakai oleh para pakar di lingkungan aliran Chicago (school of Chicago) --- sekarang menjadi Universitas Chicago. Semula metode ini hanya dipakai dalam bidang antropologi dan sosiologi. Rambu-rambu yang dimaksud meliputi cara pandang (paradigm), hakikat, tujuan dan proses serta prosedur yang dilalui. Kesemuanya memang berbeda sangat tajam dengan metode penelitian kuantitatif yang sudah ada jauh sebelumnya. Saya sadar bahwa penguji yang menyampaikan pertanyaan kepada saya pada saat ujian disertasi memang berasal dari fakultas kedokteran dan selama ini bergelut dalam dunia positivistik. Para penanya itu tidak salah, tetapi mereka memang berada dalam alam pikiran yang berbeda dengan yang saya lakukan. Karena itu, adalah tugas saya sebagai orang yang diuji untuk menjelaskan dengan cara yang arif.
Kembali ke judul tulisan di atas ‘apakah metode penelitian kualitatif ilmiah?’. Jika yang dimaksudkan ilmiah adalah ketersediaan data yang konkret atau empirik dan dapat diukur dengan angka dalam rumus statistik, jelas metode penelitian kualitatif tidak ilmiah. Sejak awal kelahirannya, metode penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menangkap arti secara mendalam dari suatu peristiwa, gejala, fakta, realitas dan masalah tertentu. Justru untuk memperoleh arti yang mendalam itu tidak mungkin dilalui hanya dengan melihat yang tampak (empirik) lewat kuesioner dan uji laboratorium dan analisis statistik. Kedalaman makna hanya bisa dilalui dengan wawancara mendalam dan obervasi menyeluruh pada peristiwa yang diteliti.
Selanjutnya jika yang dimaksud ilmiah adalah bahwa hasil penelitian bisa digeneralisasikan, maka metode penelitian kualitatif tidak bisa digolongkan sebagai karya ilmiah. Sebab, tujuan penelitian kualitatif memang tidak untuk membuat generalisasi dari temuan yang diperoleh. Istilah generalisasi (generalization) tidak dikenal dalam penelitian kualitatif. Sebagai padanannya dikenal istilah transferabilitas (transferability) dalam penelitian kualitatif. Tetapi maknanya sangat berbeda. Jika generalisasi merupakan rumusan atau temuan penelitian yang dapat berlaku dan diperlakukan secara umum bagi semua populasi yang diteliti, maka transferabilitas artinya adalah hasil penelitian kualitatif bisa berlaku dan diberlakukan di tempat lain manakala tempat lain yang dimaksudkan itu memiliki ciri-ciri yang mirip atau kurang lebih sama dengan tempat atau subjek penelitian diteliti. Selain itu, menurut Jensen (dalam Given, 2008: 886), transferabilitas juga diartikan sebagai proses menghubungkan temuan yang ada dengan praktik kehidupan dan perilaku nyata dalam konteks yang lebih luas.
Dalam penelitian kuantitatif yang jumlah populasi atau partisipannya besar biasanya peneliti menggunakan sampel. Karena itu, sampel yang dipilih harus memenuhi syarat keterwakilan agar hasilnya dapat berupa generalisasi. Semakin sampelnya representatif, maka semakin tinggi peluang generalisasi yang dihasilkan, dan sebaliknya. Dengan demikian, pertanyaan berapa jumlah populasi dan sampel yang diteliti sangat wajar dan seharusnya memang begitu.
Sebaliknya, transferabilitas dapat diperoleh jika peneliti bisa menggali kedalaman informasi dan mampu mengabstraksikan temuan substantif menjadi temuan formal berupa thesis statement. Sebagaimana pernah dikupas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, yang dimaksudkan dengan temuan substantif adalah rumusan yang diperoleh peneliti sebagai jawaban atas fokus penelitian yang diajukan di awal. Dengan demikian, ketika peneliti kualitatif sudah berhasil merumuskan temuan sebenarnya penelitian belum bisa dikatakan selesai. Sebab, ia masih harus menyelesaikan satu tahapan --- yang justru sangat penting ---, yakni merumuskan temuan substantif menjadi temuan formal. Bagi penelitian untuk kepentingan penulisan disertasi, rumusan temuan formal wajib dilakukan.
Ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh peneliti kualitatif untuk meningkatkan transferabilitas, yaitu: (1) seberapa dekat subjek yang diteliti atau informan yang diwawancarai dengan konteks atau tema yang diteliti, dan (2) batasan kontekstual (contextual boundaries) dari temuan. Menurut Jensen (dalam Given, 2008: 886), ada dua strategi yang bisa dipakai peneliti untuk meningkatkan derajad transferabilitas, yakni: (1) ketersediaan data yang memadai (thick description of data), dan (2) pemilihan subjek atau partisipan yang dipilih secara purposif. Yang dimaksud dengan deskripsi data yang memadai (thick) jika peneliti bisa menyediakan informasi yang lengkap mengenai konteks, partisipan (subjek dan informan), dan desain penelitian yang jelas sehingga pembaca bisa membuat kesimpulan mengenai transferabilitas yang dihasilkan. Untuk memenuhi harapan itu, pilihlah informan yang menguasai tema yang diteliti. Dengan demikian, pertanyaan berapa banyak subjek dan informan dalam penelitian kualitatif --- sebagaimana saya alami --- sama sekali tidak relevan. Yang menjadi persoalan bukan jumlah subjek dan informan penelitiannya, melainkan kedalaman informasi yang diperoleh.
Berikutnya lagi terkait dengan teori. Jika yang dimaksud ilmiah ialah ketiadaan pembuktian teori, maka metode penelitian kualitatif jelas tidak ilmiah. Sebab, metode kualitatif memang tidak dimaksudkan untuk membuktikan dan menguji teori, melainkan mengembangkan teori. Mengembangkan tidak berarti membuat teori yang baru sama sekali. Menghaluskan teori atau konsep yang sudah ada sebelumnya oleh peneliti terdahulu bisa disebut sebagai pengembangan teori.
Setelah teori pertanyaan lainnya menyangkut hipotesis. Jika yang dimaksudkan ilmiah ialah ketersediaan hipotesis, maka jelas pula bahwa metode penelitian kualitatif tidak tergolong kerja ilmiah. Berbeda dengan metode penelitian kuantitatif yang harus dilengkapi dengan hipotesis untuk selanjutnya dibuktikan, maka metode penelitian kualitatif sebagaimana dinyatakan Devis (dalam Given, 2008: 408) tidak memerlukan hipotesis. Kalaupun ada, hipotesis itu bukan untuk dibuktikan, melainkan sebagai panduan agar penelitian bisa fokus ke tema atau isu tertentu. Semakin peneliti bisa terfokus pada isu tertentu, semakin dia memperoleh pemahaman yang mendalam. Sekadar mengingatkan, hipotesis adalah dugaan sementara atau atau pernyataan tentatif mengenlzaimai hubungan antarvariabel, antara variabel bebas dan variabel terikat.
Istilah ‘variabel’ pun sebenarnya tidak begitu relevan dipakai dalam metodologi penelitian kualitatif karena topik atau masalah yang diangkat di dalam penelitian kualitatif tidak bisa dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang lazimnya disebut ‘variabel’ dalam tradisi positivistik.
Yang terakhir menyangkut proses dan prosedur penelitian. Jika yang dimaksud ilmiah adalah proses penelitian harus berlangsung secara linier, maka jelas penelitian kualitatif tidak bisa disebut ilmiah. Sebab, proses penelitian kualitatif tidak berlangsung secara linier, melainkan siklus. Siklus artinya tahapan-tahapan penelitian mulai identifikasi masalah, pengumpulan data, hingga analisis dan penyimpulan data bisa berlangsung tidak berurutan. Misalnya, ketika peneliti sampai pada tahap analisis data dan ternyata informasi terkait data tersebut tidak lengkap, atau lengkap tetapi tidak jelas, maka peneliti bisa melakukan pengumpulan data kembali. Fokus penelitian pun bisa diubah ketika di lapangan peneliti menemukan isu yang lebih penting dan menarik untuk diangkat. Bahkan saya teringat ada judul penelitian disempurnakan setelah semua selesai untuk disesuaikan dengan hasil akhir penelitian dan untuk kepentingan publikasi yang lebih luas.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengajukan kembali pertanyaan sebagaimana judul di atas, tetapi menyerahkan jawabannya kepada para pembaca, termasuk menilai apakah tulisan ini ilmiah atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar